BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI
PENDIDIKAN KARAKTER
Defenisi
dari masing – masing kata yaitu education yang kita terjemahkan kedalam bahasa
indonesia dengan pendidikan merupakan nomina turunan dari verba latin educare.
Secra etimologis, kata pendidikan/ educare
dalam bahasa latin memiliki konotasi melatih. Dalam dunia pertanian kata educare juga bisa diartikan sebagai
emnyuburkan (mengolah tanah agar menjadi subur dan menumbuhkan tanaman yang
baik) pendidikan dalam artian ini merupakan sebuah proses yang membantu
menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, menata, mengarahkan, pendidikan jga
berarti proses pengembangan berbagai potensi yang ada dalam diri manusia agar
dapat berkembang dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya dan juga
lingkungannya.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter didefinisikan sebagai tabiat, sifat –
sifat kejiawaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
orang lain. Watak sedang kata berkarakter diterjemahkan sebagai mempunyai
tabiat; mempunyai kepribadian; berwatak. Karakter adalah sikap pribadi yang
stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi
pernyataan dan tindakan.
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara
berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama
sebagai keluarga , masyarakat , dan bergnegara dan membantu mereka untuk
membuar keputusan yang dapat dipertanggung jwabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan
anak didik berpikir cerdas, mengkaktivasi otak tengah secara alami.
Pendidikan
karakter merupakan gabungan dari dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. Kita
ketahui bahwa pengertian pendidikan begitu banyak versi yang menyebutkan. Salah
satunya adalah Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama tahun
1930 mengatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan
tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang kita didik selaras dengan dunianya.
Sedangkan
pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan
istilah karakter secara harfiah berasal dari
bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau
sekelompok orang.
Maka
pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action).
B.
LANDASAN
FILOSOFIS TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER
Setiap paradigma pendidikan tidak
bisa lepas dari akar filosofisnya. Sebab pendidikan sebagai ilmu merupakan
cabang dari filsafat dalam aplikasinya. Dalam filsafat pendidikan terdapat
beberapa aliran yang saling merekonstruksi masing-masing paradigma pendidikan
tersebut. Berangkat dari aliran-aliran filsafat tersebut kemudian membentuk
paradigma yang berbeda-beda. Paradigma yang dimaksud di sini adalah sebagai
salah satu perspektif filosofis dalam membaca persoalan mengenai pendidikan.
Dalam filsafat kontemporer terdapat jenis aliran filsafat diantaranya aliran
progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, dan
rekonstruksialisme.
Aliran progresivisme memiliki ciri
utama yaitu memberi kebebasan penuh terhadap manusia untuk menentukan hidupnya.
Hal ini didasari kepercayaaan bahwa manusia memiliki kemampuan atau dengan kata
lain potensi-potensi alamiah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah hidupnya (problem solving) yang bersifat menekan atau
mengancam adanya manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia harus dapat
memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang penuh dengan rintangan.
Lingkungan dan pengalaman menjadi hal yang penting dalam aliran ini. Masalah
atau problem yang dihadapi manusia biasanya berasal dari lingkungan dan dengan
pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada lingkungan dimana dia berada,
manusia menjadi semakin mudah dan bijak dalam menyelesaikan problem hidup.
Serta dengan makin seringnya manusia menghadapi tuntutan lingkungan dan makin
banyak pengalaman yang didapat, maka makin matang persiapan seseorang dalam
menghadapi tantangan atau tuntutan masa depan.
Filsafat progresivisme merupakan
aliran yang anti kemapanan sehingga bertentangan dengan esensialisme.
Maksudnya, progresivisme berpandangan berpikir kearah kedepan (adanya
kemajuan), secara terus-menerus merekonstruksi pengetahuan-pengetahua menuju
sebuah kesempurnaan.
Dalam perspektif progresivisme,
pendidikan bukanlah sekadar memberikan pengetahuan, lebih dari itu pendidikan
melatih kemampuan berpikir (aspek kognitif). Manusia memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dibanding makhluk lain, yaitu dianugerahi akal dan kecerdasan.
Sehingga dengan akal dan kecerdasan tersebut diharapkan manusia atau seseorang
dapat mengetahui, memahami, dan mengembangkan potensi-potensi yang telah ada
pada dirinya sejak dilahirkan. Akal membuat seseorang bersifat kreatif dan
dinamis sebagai bekal dalam menghadapi dan menyelesaikan problem yang dihadapi
sekarang maupun masa depan.
Aliran inilah yang menjadi dasar
atau landasan terbentuknya pendidikan karakter. Pandangan yang mengatakan bahwa
manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah.
Progresivisme yang juga menaruh kepercayaan terhadap kebebasan manusia dalam
menentukan hidupnya, serta lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi
kepribadiannnya. Beberapa hal yang terkandung dalam aliran progresivisme ini
kemudian secara mendalam dipikirkan untuk kemudian memunculkan sebuah paradigma
pendidikan yang sedang menjadi primadona paradigma pendidikan dewasa ini, yang
tidak lain adalah pendidikan karakter.
Pada ranah Islam kita mengenal
istilah filsafat akhlak. Fisafat akhlak ini sangat dekat dengan tasawuf, karena
tasawuf sebagai akar dari filsafat akhlak yang memberikan pengaruh terhadap
pembentukan karakter. Pemikir akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali dengan
karyanya Ihya Ulum al-Din. Pengalaman spiritual para sufi yang membawa
implikasi kesucian akhlak merupakan pokok pemikiran akhlak. Dari peneladanan
terhadap para sufi tersebut, akan melahirkan sebuah kebiasaan (habit)
yang senantiasa berbuat kebajikan. Pendidikan akhlak yang dipraktekkan secara
terus menerus akan membentuk sebuah karakter seseorang. Pendidikan akhlak pada
konteks ini menginspirasi terbentuknya pendidikan karakter dan penerapannya.
C.
TEORI PENGEMBANGAN KARAKTER
Sebagai dasar acuan dalam merumuskan
konsep pendidikan karakter dalam Islam ialah QS. Ar-Rum (30): 30.
فِطْرَتَ حَنِيْفَا لِلدِّيْنَ
وَجْهَكَ فَأَقِمْ
(٣٠) يَعْلَمُنَ لَا سِ اُلنَّا
أَكْثَرَ وَلَكِنَّ اُلْقَيِّمَ اُلدِّيْنَ ذَلِكَ اُللَّهِ لِخَلْقِ يلَ تَبْدِ
لَا عَلَيْهَا سَ اُلنَا فَطَرَ اُلَّتِى اُللَّهِ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dari ayat di atas dapat ditarik
benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan
karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1)
fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.
1.
Aliran yang
berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap individu karakternya baik
atau jahat melalui ketetapan Allah. Faktor-faktor eksternal, termasuk paradigma
pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terikat
dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Karakter positif atau
negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang
dikenal dengan ilmu azali Allah.
2.
Pandangan
netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu
keadaan kosong. Sama halnya dengan teori tabularasa yang dikemukakan John Lock
bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada sesuatu goresan apa pun.
Manusia berpotensi berkarakter baik dan tidak baik itu karena mendapat pengaruh
dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut akan terus
mengiringi kehidupan setiap insan dan karakter yang terbentuk tergantung mana
yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan, maka seseorang
akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya apabila yang lebih dominan adalah
pengaruh buruk, maka karakter yang terbentuk karakter tidak baik. Pandangan ini
mengambil argumen dari QS. Al-Nahl (16):78
اُلسَّمْعَ لَٔكُمُ جَعَلَ وَ ثَيْاً
تَعْلَمُوْنَ لَا أُمَّهَتِكُمْ بُطُوْنَ مِّنَ جَكُمْ أَخْرَ وَللَّهُ
(٧٨) تَشْكُرُوْنَ لَعَلَّكُمْ
وَاُلْأَفْئِدَةِ وَاُلْأَبْصَرَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
3. Aliran
positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter
baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga
ia menjauh dari sifat bawaannya.
4. Aliran dualis-aktif yakni
manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuatnya. Sifat baik dan buruk.
Tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik atau buruk. Jika ia dekat dengan teman yang
berkarakter baik, maka seseorang tersebut akan mengambil sifat baiknya, dan
sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif amat penting untuk diupayakan sejak
kecil agar karakter atau sifat baik lebih kuat.
Dasar pembentukan karakter adalah
nilai baik (disimbolkan sebagai nilai malaikat) atau buruk (disimbolkan sebagai
nilai setan). Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai
baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif.
Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari
keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang
a-moral yang bersumber dari taghut (setan).
Energi positif itu berupa: Pertama,
kekuatan spiritual yang berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa,
yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk
menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua,
kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun
salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih,
suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang
kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki
kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan perilaku etis. Sikap dan
perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan
kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang
nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah
(integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang
bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh.
Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas,
komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang
bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di
atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan
materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif atau
nilai-nilai material) yang berfungsi sebagai pembusukan, dan penggelapan
nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif
terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût
itu berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq
(kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan
kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang
hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala
sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah
(pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun
mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah
(jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah
selain Allah berupa harta, seks dan kekuasaan (thâghût). Ketiga,
sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak
etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur
(congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal
sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang
yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal
al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût
ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang
memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan
orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
D. JENIS – JENIS PENDIDIKAN KARAKTER
Ada empat
jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan
, yaitu sebagai berikut:
1.
Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang
merupakan kebenaran wahyu Tuhan ( konservasi moral)
2.
Pendidikan karakter berbasis nilai budaya , antara
lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh –
tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan)
3.
Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi
lingkungan)
4.
Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap
pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis)
Pendidikan karakter berbasis potensi
diri adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya upaya
1.
Secara sadar terencana untuk mengarahakan anak didik
2.
Anak didik
mampu mengatasi diri
3.
Melalui kebebasan
4.
Melalui penalaran
5.
Mengembangakan segala potensi diri
E. TAHAP-TAHAP
PEMBENTUKAN KARAKTER
Pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu
peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pada dasarnya
setiap orang sudah memiliki potensi atau kemampuan yang ada sejak ia
dilahirkan.potensi-potensi itulah yang menjadi bekal untuk pembentukan karakter
dirinya. Sedangkan pembentukan karakter selain didorong faktor bawaan, tidak
terlepas pula oleh faktor lingkungan yang juga memiliki pengaruh cukup besar
bagi pembentukan karakter seseorang.
Karakter mulai terbentuk ketika
seseorang masih kecil. Lingkungan yang pertama dilihat oleh seseorang pasca
lahir adalah keluarga. Maka peran keluarga dalam pembentukan karakter menjadi
yang pertama dan utama. Terutama pendidikan yang diberikan oleh orang tua,
khususnya ibu. Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah guru yang merupakan
singkatan dari digugu lan ditiru. Guru dalam ranah keluarga adalah kedua
orangtua. Sehingga apapun perkataan, perbuatan atau sikap dari orangtua akan
diikuti oleh anak, entah itu baik maupun buruk. Sebab ketika seseorang berada
pada masa anak-anak, pendidikan yang dominan adalah keteladanan. Ucapan dan
tindakan dari orangtua yang itu termasuk hal yang baik atau buruk, secara
langsung ataupun tidak langsung akan membentuk karakter si anak sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk keagamaan. Orangtua yang
menanamkan nilai-nilai agama pada anak, misalnya sering mengajak sholat,
mengajari membaca Al-Quran, mengenalkan Allah, mendorong untuk cinta kepada
Muhammad, maka anak cenderung akan terbentuk karakter orang yang religius.
Orangtua yang sering mengajarkan kebaikan, bertutur kata yang lemah lembut,
dermawan pada orang lain, maka karakter si anak cenderung baik. Akan tetapi
jika orang tua berkata atau bersikap yang tidak baik, apalagi sering bertengkar
di depan anak, maka dalam diri seorang anak akan terbentuk karakter yang tidak
baik.
Proses pembentukan karakter atau
kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Tujuannya untuk
membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat
dan mengucapkan sesuatu (pengetahuan hafalan). Contohnya antara lain
membiasakan puasa dan sholat. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat.
Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau
pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan
yang luhur. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang ada pada rukun iman.
Hasilnya seseorang akan lebih mendalami apa yang dilakukan atau diucapkan
sehingga meningkatkan tanggungjawab terhadap setiap apa yang dikerjakan.
Pendidikan karakter atau kepribadian
memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan
aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling
the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan
kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good
(melakukan kebaikan). Materi pendidikannya tidak terbatas pada hal-hal yang
bersifat afektif, tetapi juga yang berkaitan dengan kognitif dan psikomotor.
1. Knowing the good
Untuk membentuk
karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun
mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka
tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.
2. Feeling the good
Konsep ini
mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini
anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling
the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa
dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan
negatif.
3. Acting the good
Pada tahap ini,
anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah
diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini
hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi ketiga faktor tersebut harus
dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun,
adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia
yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia
(SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri,
serta tidak jujur.
F.
KONSEP DAN
METODE PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER
Penerapan pendidikan karakter harus
dilakukan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, perlu adanya metode. Pendidikan
karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia, fitrah. Setiap anak
dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati
dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple
intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat
digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah,
ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb.
1.
Metode Tilâwah
Untuk mengembangkan kemampuan membaca, tujuannya agar anak memiliki
kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena.menyangkut kemampuan
membaca.
2. Metode
ta’lim
Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal (pengembangan kecerdasan
intelektual (intellectual quotient)). Yaitu sebuah metode pendidikan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif
melalui pengajaran.
3. Metode tarbiyah
Menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada
asah, asih dan asuh. Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa
kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru
dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah
dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau
guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian
dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru
untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian
dari penerapan metode tarbiyah.
4.
Metode ta’dîb
Untuk mengembangan kecerdasan emosional(emotional quotient).
5. Metode tazkiyah
Untuk mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Berfungsi juga untuk mensucikan jiwa.
6. Metode tadlrib
Metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan
fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik (physical quotient atau adversity
quotient). Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya
fisik yang kuat, cekatan dan terampil.
Selanjutnya, di sekolah pendidikan
karakter yang diterapkan semestinya
terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk
menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh
mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya.
Pertama, desain
pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru
sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan
siswa bukan monolog, melainkan dialog, sehingga
siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya. Baik itu
masalah materi pelajaran maupun hal-hal yang non pelajaran. Misalnya tentang
manajemen kelas, yang membantu terciptanya suasana kelas yang nyaman.
Kedua, desain
pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata
sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan
pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan
penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas
dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain
pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak
berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga,
masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika
lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak
pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya
untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan
karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan
kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.
Sekolah sebagai
institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan
penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas
dalam pembentukan rasa tanggungjawab
dan pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Sekolah
haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang
bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat
universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas.
Sekolah mempunyai peran yang amat
penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak
mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa
anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam
dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika
dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama diajarkan
di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, kelihatannya pendidikan moral masih
belum berhasil dilihat dari tingkat kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang
tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat
dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada
dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum
sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi
kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan
otak kiri (kognitif), yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan
menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek
perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di
sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran
moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali
ketidakonsistenan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan
anak di luar sekolah. Dengan demikian, seperti yang telah dipaparkan pada sub
bab di atas, peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter
anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh
kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa
keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus
mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus
dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Menurut
Lickona, terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif:
(1)
mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya
sebagai fondasi karakter yang baik;
(2)
mendefinisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan,
dan perilaku
(3)
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter
(4)
menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian
(5)
memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
(6)
membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua
peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil
(7)
mengusahakan mendorong motivasi diri siswa
(8)
melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi
tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai
inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa
(9)
menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang
bagi inisiatif pendidikan karakter
(10)
melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan
karakter
(11)
mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter,
dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan
karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian,
kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang
lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos
kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah
harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-
nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati
dalam kehidupan sekolah sehari-hari,
mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya
sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi nilai-nilai
tersebut di sekolah dan masyarakat.
Beberapa hadits berikut menunjukkan betapa pentingnya sekolah-sekolah kita
untuk memperhatikan masalah pembentukan akhlak pada anak-anak didiknya:
“innama
bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq”
Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (HR
Malik)
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah
keluarga untuk membentuk akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap
sekolah menjadikan kualitas akhlak/ karakter sebagai salah satu Quality
Assurance yang harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya. Tentunya kita semua berharap siswa-siswi yang dididik di sekolah kita
menjadi hambaNya yang beriman, sebagaimana
pemerintah kita mencanangkan dalam Pasal 3 UU No. 20/2003, bahwa:
‘Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab’.
Mahatma Gandhi memperingatkan
tentang salah satu dari tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”
(pendidikan tanpa karakter)
Menurut Thomas Lickona (1992), tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara
lain:
1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja
2. Ketidak jujuran yang membudaya
3. Semakin
rendah rasa tidak hormat kepada kedua orang tua, guru dan figure pemimpin,
4. Meningkatnya
kecurigaan dan kebencian
5. Penggunaan
bahasa yang memburuk
6. Penurunan
etos kerja
7. Menurunnya
rasa tanggung-jawab individu dan warga negara
8. Meningginya perilaku merusak diri
9. Semakin kaburnya pedoman moral.
Menurut Ratna Megawangi, Founder Indonesia Heritage Foundation, ada 9 pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri anak:
1. Cinta Allah, dengan segenap ciptaanNya
2. Kemandirian ,tanggung jawab
3. Kejujuran, bijaksana
4. Hormat, santun
5. Dermawan, suka menolong, gotong royong
6. Percaya diri, kreatif, bekerja keras
7. Kepemimpinan, keadilan
8. Baik hati, rendah hati
9. Toleransi, Kedamaian, kesatuan
Tips untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah
Berikut adalah tips untuk sukses menerapkan pendidikan berbasis karakter di
sekolah:
Dari semua komponen sekolah, yang paling berperan mensukseskan program
pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah GURU. Tentunya diperlukan GURU BERKARAKTER untuk menghasilkan SISWA BERKARAKTER.
Meski diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan anak didik yang
berakhlak dan berkarakter baik tentunya sangat membahagiakan, karena menjadi
penyebab seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya.
Pendidikan Berbasis Karakter
menurut Drs. Bakharuddin Dalam kajian pendidikan
dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan intelek, pendidikan
keterampilan, pendidikan sikap, dan pendidikan karakter (watak). Pendidikan
karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu,
motif, dan dorongan berbuat.
Pendidikan karakter
adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti
kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan,
kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter
dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan
untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan
persoalan hidupnya.
Pendidikan berbasis karakter akan
menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk,
manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran
martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta
memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak
memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan
produktivitas.
Selain itu, tidak hanya
menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis
situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh
kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial, dan dapat bertanggung jawab
atas tindakannya.
G. PEMBENTUKAN PRIBADI
BERKARAKTER
Karena itu, sekolah yang akan
mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dapat memikirkan segi-segi
sebagai berikut. Pertama, keberhasilan pendidikan berbasis karakter terkait
dengan kondisi peserta didik yang landasan keluarganya mengharapkan tercipta
iklim kehidupan dengan norma kebaikan dan tanggung jawab. Dengan demikian,
fungsi pendidikan berbasis karakter untuk menunjukkan kesadaran normatif
peserta didik, seperti berbuat baik dan melaksanakan tanggung jawabnya agar
terinternalisasi pada pembentukan pribadi.
Organ manusia yang berfungsi melaksanakan
kesadaran normatif ialah hati nurani atau kata hati (conscience). Organ
penunjangnya ialah pikiran atau logika. Pendidikan berbasis karakter diprogram
untuk upaya kesadaran normatif yang ada pada hati nurani supaya diteruskan
kepada pikiran untuk dicari rumusan bentuk perilaku, kemudian ditransfer ke
anggota badan pelaksana perbuatan. Contoh, mulut pelaksana perbuatan bicara
atau bahasa melalui kata-kata. Maka, sistem mulut memfungsikan kata-kata
bersifat logis atau masuk akal. Bahkan, dengan landasan kesadaran norma dan
tanggung jawab akan terjadi komunikasi dengan perkataan santun yang jauh dari
celaan dan menyakitkan orang lain.
Karena itu, pendekatan
proses pembelajaran di sekolah perlu disesuaikan, yaitu dengan menciptakan
iklim yang merangsang pikiran peserta didik untuk digunakan sebagai alat
observasi dalam mengeksplorasi dunia. Interaksi antara pikiran dan dunia harus
memunculkan proses adaptasi, penguasaan dunia, dan pemecahan masalah yang
dihadapi dalam kehidupannya. Keberhasilan anak menjalani interaksi dengan dunia
akan membentuk kemampuan merumuskan cita-citanya. Bahkan, cita-cita itu
dijadikan pedoman atau kompas hidup. Dengan pedoman hidup itu ia menentukan
arah sekaligus membentuk norma hidupnya.
Kedua, kondisi sekolah dapat menciptakan
iklim rasa aman bagi peserta didiknya (joyful learning). Jika peserta didik
tidak merasa aman, seperti merasa jiwa tergoncang, cemas, atau frustrasi akibat
mendapatkan pengalaman kurang baik dari sekolah, maka ia tidak akan dapat
menanggapi upaya pendidikan dari sekolahnya. Bahkan, ia acap kali merespons
upaya pendidikan dengan bentuk protes atau agresi terhadap lingkungannya. Peserta
didik yang cerdas sekalipun, dengan merasa kurang aman, acap kali konflik
dengan lingkungan yang menyulitkan hidup.
Bahkan, upaya
mempertahankan hidupnya dengan berbuat tercela, tidak bermoral, tidak
bertanggung jawab, dan jahat. Perasaan aman hidup atau perasaan yang tidak
diliputi kecemasan di sekolah hanya mungkin bila suasana sekolah mencintai anak
dengan menciptakan iklim keterbukaan, mesra, bahagia, gembira, dan ceria.
Dengan demikian, iklim
tersebut akan mampu membuka kata hati peserta didik, baik di sekolah maupun
ketika menghadapi dunia masyarakat. Kehidupan nyata dianggap sebagai obyek yang
menarik minat dengan kegairahan hidup dan penuh perhatian yang merangsang
pikirannya.
Ketiga, kebijakan sekolah dalam merumuskan
bahan belajar pendidikan berbasis karakter diorientasikan ke masa depan, yaitu
menggambarkan indikasi bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat. Dasar
pertimbangannya adalah (1) proses pembangunan berkonsekuensi terhadap perubahan
bentuk baru nilai-nilai kebiasaan hidup masyarakat, (2) pendidikan berbasis
karakter harus berperan sebagai pengimbang akibat sampingan proses pembangunan.
Indikator bentuk baru
nilai-nilai peradaban masyarakat dimisalkan mengambil rumusan dari hasil
pengamatan kehidupan kota yang mengalami pembangunan pesat dan menimbulkan
urbanisasi sehingga di kota tercipta pusat permukiman pendatang baru yang
seolah terputus dari akar sosial budaya sebelumnya. Permukiman kota yang penuh
sesak menimbulkan suasana kehidupan yang mencekam dari kekhawatiran terjadinya instabilitas
sosial.
Selain itu, rumusan
didapat dari hasil pengamatan suasana keluarga dalam menghadapi tata kehidupan
baru, apakah mengambil sikap bertahan dengan kebiasaan hidup sebelumnya,
ataukah meninggalkan dan mengganti kebiasaan hidup sebelumnya (permisif),
sementara keadaan sekitar tidak ikut bertahan. Terutama mengambil sikap
mengenai kaitan dengan ekonomi keluarga, pekerjaan, perdagangan, dan
kecemburuan sosial.
Bagaimana kondisi keluarga yang tetap
bertahan, apakah menjadi terasingkan. Bagaimana pula keluarga yang mengubah
kebiasaan lama dengan yang baru, apakah secara psikologis memperoleh kemantapan
ataukah kepahitan dan kekacauan hidup.
Paling tidak, pengamatan
sepintas menunjukkan akibat sampingan pembangunan yang pesat pada perubahan
bentuk kehidupan masyarakat. Yaitu, pembangunan yang menawarkan kesempatan bagi
siapa saja yang berkesanggupan sehingga mengakibatkan di satu pihak terdapat
sebagian anggota masyarakat yang cakap dan berani mengambil risiko untuk
menangkap manfaat penawaran pembangunan dan golongan ini akan maju.
Di pihak lain, ada anggota masyarakat yang
lamban bergerak dalam menangkap manfaat dan golongan ini akan semakin
tertinggal. Hasil akhir antara yang cakap dan lamban menyebabkan munculnya
jurang perbedaan kepemilikan materi yang mudah diisukan sebagai pelanggaran
asas keadilan.
Jurang perbedaan kemajuan sisi materi yang
dipahami secara sempit mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai masyarakat.
Yaitu, menguatnya arus bentuk baru kehidupan masyarakat seperti nilai materi
dan hara-hura serta tampak memudar budaya santun, malu, kekeluargaan,
kejujuran, toleransi, kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong.
H. ESENSI
dan FUNGSI POKOK SISTEM PENDIDIKAN DASAR
Peningkatan kualitas pengelolaan
sistem pendidikan dasar di masa depan memerlukan berbagai input pandangan,
antara lain: gagasan tentang fungsi esensial pendidikan dasar di masa depan.
Sehubungan itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNESCO telah membentuk
sebuah Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad XXI (The
International Commision on Education for the Twenty-First Century), yang
diketuai oleh Jacques Delors. Komisi melaporkan hasil karyanya dengan judul Learning:
The Treasure Within (1996). Komisi memusatkan pembahasannya pada satu
pertanyaan pokok dan menyeluruh, yaitu: jenis pendidikan dasar apakah yang
diperlukan untuk masyarakat masa depan? Rekomendasi dan gagasan Komisi tersebut
tentang pendidikan dasar masa depan merupakan salah satu input yang dapat
dijadikan pertimbangan dalam peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan dasar
di Indonesia dalam memfasilitasi pendidikan karakter bangsa yang kokoh untuk
generasi masa depan.
Komisi Pendidikan untuk Abad ke 21 melihat bahwa
pendidikan dasar masa depan merupakan sebuah “paspor” untuk hidup yang layak.
Pendidikan dasar untuk anak dikonsepsikan sebagai pendidikan awal untuk setiap
anak (formal atau nonformal) yang pada prinsipnya berlangsung dari usia sekitar
3 (tiga) tahun sampai dengan sekurang-kurangnya berusia 12 sampai 15 tahun.
Pendidikan dasar sebagai sebuah “paspor” yang sangat diperlukan individu untuk
hidup dan mampu memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam
pembangunan masyarakat masa depan secara kolektif, dan terus menerus belajar
(Delors, 1996). Dengan demikian, pendidikan dasar memberikan sebuah surat jalan
yang sangat penting bagi setiap orang, untuk memasuki kehidupan dalam
masyarakat setempat atau masyarakat dunia. Pendidikan dasar sangat berkaitan
dengan kesamaan hak untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang layak dan bermutu.
Oleh karena itu, pendidikan dasar sangat erat dengan hak azasi manusia. Hal ini
sejalan dengan Deklarasi Beijing yang antara lain menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan adalah hak azasi manusia
dan sebuah alat yang pokok untuk mencapai tujuan memperoleh kesamaan,
perkembangan, dan perdamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif memberikan
keuntungan baik bagi anak-anak perempuan maupun anak laki-laki, dan dengan
demikian pada akhirnya membantu untuk mencapai hubungan yang mempunyai kesamaan
yang lebih besar antara perempuan dengan laki-laki. Kesamaan dalam kemudahan
mendapatkan dan mencapai mutu pendidikan adalah perlu apabila lebih banyak
perempuan harus menjadi agen perubahan. Perempuan yang melek huruf merupakan
sebuah kunci penting untuk meningkatkan kesehatan, gizi, dan pendidikan dalam
keluarga dan untuk memberdayakan perempuan untuk berpatisipasi dalam
pengambilan keputusan dalam masyarakat. Investasi dalam pendidikan formal dan
noformal serta latihan bagi para gadis dan perempuan, dengan hasil sosial dan
ekonomi yang sangat tinggi, telah terbukti menjadi salah satu cara pencapaian
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang dapat diandalkan.
Pada tahap awal, pengelolaan
pendidikan dasar harus berusaha mengecilkan berbagai perbedaan yang alami dari
berbagai kelompok masyarakat, seperti: perempuan, penduduk pedesaan, orang
miskin di kota, minoritas etnik yang bersifat marginal, dan beribu-ribu anak
yang tidak bersekolah dan bekerja. Pengelolaa pendidikan dasar dalam waktu yang
sama bersifat universal dan spesifik. Sistem pendidikan dasar harus membentuk
dasar umum (general conceptual framework) hal umum yang mempersatukan semua
manusia, sedangkan dalam waktu yang sama harus dapat mengakomodasi berbagai
tantangan, khususnya dari setiap kelompok peserta didik yang berbeda.
Agar pendidikan dasar dapat
terhindar dari pemisahan “kualitas pendidikan” yang dewasa ini membagi dunia
menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: a) kelompok negara industri dengan tingkat
mutu pendidikan yang tinggi serta pengetahuan dan keterampilan yang tersedia,
dan b) kelompok negara sedang berkembang dengan tingkat pendidikan dasar yang
dikategorikan rendah. Pengelolaan pendidikan dasar di masa depan perlu
memperbaiki defisit pengetahuan di negara berkembang atau terbelakang. Para ahli
pendidikan dasar perlu merumuskan pemikiran yang implementatif dalam memberikan
jaminan bahwa semua anak usia pendidikan dasar, baik yang ada di negara
industri maupun di negara berkembang, dapat mencapai tingkat kemampuan minimal
dalam bidang-bidang keterampilan kognitif yang diperlukan dalam kehidupan
mereka. Dalam konteks ini, Komisi Pendidikan untuk Abad 21 mengutip Deklarasi
Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All, Pasal 1 Ayat
(1)), sebagai berikut:
Setiap orang – anak, remaja, orang dewasa
– akan dapat memperoleh keuntungan dari kesempatan pendidikan yang dirancang
untuk memenuhi kebutuhan belajar yang pokok. Keuntungan ini terdiri atas alat
belajar yang pokok (seperti: melek huruf, ekspresi lisan, berhitung, dan
pemecahan masalah) dan isi belajar yang pokok (seperti: pengetahuan,
keterampilan, nilai-nilai, dan sikap) yang diperlukan oleh manusia untuk dapat
bertahan hidup, mengembangkan kemampuan mereka secara penuh, hidup dan bekerja
dengan bermartabat, berpatisipasi secara penuh dalam pembangunan, meningkatkan
mutu kehidupan mereka, membuat keputusan yang terinformasi, dan terus menerus
belajar.
Di samping itu masih banyak anak
usia pendidikan dasar yang belum terjangkau oleh program pendidikan dasar.
Kalaupun sekolahnya tersedia dalam jarak yang terjangkau, kendala-kendala
psikologis dan budaya masih menghalangi mereka untuk memasuki sekolah. Untuk
memecahkan masalah ini, perlu diakomodasi ide-ide “pendidikan untuk semua” yang
antara lain menciptakan kesempatan bagi semua anak untuk mengakses pendidikan
dasar yang bermutu di manapun dan kapanpun. Selain itu, perlu diciptakan
suasana belajar yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak dari berbagai strata
dan latar belakang sosial dan budaya. Salah satu kebutuhan esensial dalam
pedidikan dasar yang bermutu adalah memfasilitasi program pendidikan karakter
bangsa yang kokoh bagi semua generasi masa depan tanpa diskriminatif.
I.
PENGELOLAAN DAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN DASAR DI
INDONESIA
Jenjang pendidikan dasar merupakan
jenjang terbawah dari sistem pendidikan nasional, seperti yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara
yuridis, tujuan pokok pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan
sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang
memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan tingkat menengah. Pendidikan
dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun diselenggarakan selama
enam tahun di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan tiga tahun di
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau satuan pendidikan
yang sederajat.
Program wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun merupakan perwujudan pendidikan dasar untuk semua anak usia 6 –
15 tahun. Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Mei 1994, dan
pelaksanaannya dimulai tahun ajaran 1994/1995. Program wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun di Indonesia bukanlah wajib belajar dalam arti compulsory
education seperti yang dilaksanakan di negara-negara maju, yang bercirikan:
(1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) diatur dengan
undang-undang tentang wajib belajar; (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar
adalah adanya orang tua yang terkena sanksi, karena telah mendorong anaknya
tidak bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya
tidak bersekolah.
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di
Indonesia lebih merupakan universal basic education system daripada compulsory
education. Universal education berusaha membuka kesempatan belajar
dengan menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua agar anak yang telah cukup
umur mengikuti pendidikan. Dengan demikian, program wajib belajar pendidkan
dasar 9 tahun di Indonesia lebih mengutamakan: (1) pendekatan persuasif; (2)
tanggung jawab moral orang tua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk
mengikuti pendidikan karena berbagai kemudahan yang disediakan; (3) pengaturan
tidak dengan undang-undang khusus; dan (4) penggunaan ukuran keberhasilan yang
bersifat makro, yaitu peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar.
Bentuk-bentuk satuan pendidikan
dasar formal yang menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) SD/SMP Biasa, yaitu SD/SMP
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat dalam situasi yang normal;
(2) SD/SMP Kecil, yaitu SD/SMP
negeri yang diselenggarakan di daerah yang berpenduduk sedikit dan memenuhi
persyaratan yang berlaku;
(3) SD/SMP Terbuka, yaitu SD
negeri yang didirikan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak putus
SD/SMP dan/atau anak lain yang tidak dapat datang secara teratur untuk belajar
di sekolah;
(4) SD/SMP Terpadu, yaitu
SD/SMP negeri yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak yang menyandang
kelainan fisik dan/atau mental bersama anak normal dengan mempergunakan
kurikulum yang berlaku di sekolah.
(5) Madrasah Ibtidaiyah/Madrasah
Tsanawiyah, yaitu SD/SMP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan
oleh pemerintah atau masyarakat, di bawah bimbingan Departemen Agama
Untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan dasar yang bermutu di masa depan, pemerintah telah dan sedang
melaksanakan berbagai strategi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar,
antara lain: 1) pemantapan prioritas pendidikan dasar 9 tahun, 2) pembebasan
uang sekolah untuk semua siswa melalui dana BOS (Biaya Operasional Sekolah), 3)
pemberian insentif kepada guru yang bertugas di wilayah terpencil, 4)
pemantapan peran SD kecil dan SMP terbuka, 5) penggalakkan Kejar Paket A dan B,
6) pemantapan sistem pendidikan terpadu untuk anak berkelainan, dan 7)
peningkatan keterlibatan masyarakat untuk menunjang “pendidikan untuk semua” (education
for all).
Pada tingkat pusat, pengelolaan dan
pembinaan pendidikan dasar dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar,
dalam hal ini Direktorat Pembinaan SD untuk satuan pendidikan SD, dan Direktorat
Pembinaan SMP untuk satuan pendidikan SMP. Sedangkan pembinaan program TK,
Pendidikan Anak Usia Dini, Paket A, dan Paket B dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal (PAUDNI).
Selain itu, pembinaan satuan pendidikan RA, MI, dan MTs dilaksanakan oleh
Direktorat Pembinaan Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam,
Kementerian Agama.
Pada tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, pembinaan pendidikan dasar dilaksanakan oleh Sub Dinas
Pendidikan Dasar, dan Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah di lingkungan Dinas
Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing. Sedangkan Kantor
Kementerian Agama tingkat provinsi dan kabupaten/kota melalui Bidang Pembinaan
Madrasah melaksanakan pembinaan satuan pendidikan Roudlatul Athfal (RA),
Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
J.
ISU – ISU STRATEGIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA YANG
KOKOH PADA SISTEM PENDIDIKAN DASAR
Indonesia memerlukan sumberdaya
manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam
pembangunan masyarakat dan negara. Untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia
yang sesuai dengan tuntutan pembangunan masyarakat dan Negara tersebut,
pendidikan memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Hal ini sesuai dengan
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia Indonesiai yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Ketetapan UU Sisdiknas tahun 2003 ini bermaksud agar sistem
pendidikan nasional tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun
juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi
bangsa yang unggul dan cerdas serta tumbuh berkembang dengan karakter bangsa
yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama yang diyakininya.
Dengan demikian, pendidikan dasar
harus dikelola dan diselenggarakan secara terarah dan sistematis untuk mencapai
tujuan nasional pendidikan. Hal ini akan berkaitan dengan pembentukkan karakter
peserta didik pendidikan dasar yang mampu bersaing, beretika, bermoral,
bersopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills) saja, tetapi lebih
ditunjang oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skills)
(Goleman, 1995). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam pengembangan kecerdasan
emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Kondisi anak-anak yang bermasalah seperti ini sudah dapat dilihat
sejak usia dini, dan kalau tidak ditangani secara benar, akan terbawa sampai
usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter baik dan kokoh akan
terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, maupun perilaku seks bebas dan kekerasan.
Hasil penelitian di beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter
bangsa terpadu sejak pendidikan dasar, seperti halnya Amerika Serikat, Jepang,
Cina, dan Korea, menunjukkan bahwa implementasi pendidikan karakter bangsa
terpadu yang dilaksanakan secara sistematis berdampak positif pada prestasi
akademik para siswa. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter
peserta didik pendidikan dasar sangat penting untuk dijadikan formula dasar
dalam proses pendidikan karakter bangsa yang mulia untuk jenjang berikutnya.
Secara konseptual, karakter
didefinisikan bervariasi sesuai dengan falsafah bangsa yang dianut. Dalam
konteks ini, karakter diartikan sebagai perwujudan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terlihat dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Karakter adalah pola berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter mulia adalah
individu yang bisa membuat keputusan yang sesuai dengan norma kehidupan dan
siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Karakter yang muli dan kokoh dari
individu ditunjukkan dengan memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang
ditandai dengan ciri-ciri perilaku yang reflektif, percaya diri,
rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu yang berkarakter mulia dan
kokoh juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan
mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter mulia yang kokoh untuk peserta
pendidikan dasar harus merupakan pendidikan budi pekerti plus dan pendidikan
akhlaq plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Selain itu, pengembangan pendidikan karakter mulia
juga berhubungan dengan pengembangan akhlaq, moral dan pengembangan agama serta
nilai spiritualitas seseorang. Di dalam ajaran Agama Islam, kebaikan atau
akhlak mulia berasal dari bahasa Arab “khulukul mahmudah” yang artinya
tabiat atau kebiasaan melakukan kebaikan, atau tata cara berperilaku baik dalam
berhubungan dengan orang. Ada beberapa akhlak mulia yang seringkali diungkapkan
dalam ajaran agama Islam, yaitu perkataan baik (al-kalam al-hasan),
mendahulukan kepentingan orang lain (al-itsaar) tolong menolong (at-taawun),
dan hormat, izin serta penghormatan (al-isti’dzan dan at-tahiyyah).
Thomas Lickona (1991) menjelaskan bahwa karakter
terdiri atas tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral
knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perilaku
bermoral (moral behavior). Hal ini menunjukkan bahwa manusia yang
berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the
good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good) dan
melakukan kebaikan (acting the good). Kerangka hubungan komponen
karakter pada akhirnya adalah tindakan moral berupa kompetensi, niat kebaikan
dan kebiasaan yang dilakukan seseorang yang disebut sebagai karakter. Knowing
the good akan mudah diajarkan sebab substansi pengetahuan dapat bersifat
kognitif saja. Setelah pembelajaran knowing the good harus
ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebaikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau
berbuat sesuatu kebaikan. Pada akhirnya, melalui pembelajaran karakter mulia
yang terpadu akan tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan perilaku kebaikan
karena dia cinta dengan perilaku kebaikan itu. Setelah terbiasa melakukan
kebaikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan dalam
kehidupan individu dimana saja dan dalam situasi apa saja. Pola pembelajaran
karakter mulia yang terpadu dalam proses pendidikan dasar dapat digambarkan
seperti di bawah ini.
Pola pendidikan karakter mulia yang
terpadu ini, sebaiknya diterapkan sejak proses pendidikan anak usia dini yang
disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia
dini ini terbukti menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang
dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya
terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir
dasawarsa kedua (Lickona, 1991). Dengan demikian, pendidikan karakter mulia
yang terpadu harus dimulai dari proses pendidikan anak dalam keluarga, karena
keluarga merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter mulia si anak.
Namun dalam realita, bagi sebagian
keluarga yang terjebak dalam kegiatan rutinitas pekerjaan yang padat, proses
pendidikan karakter mulia yang terpadu dan sistematis bagi anak usia dini
seperti diuraikan di di atas akan terasa sulit, karena faktor kemampuan dan
kesempatan. Oleh karena itu, seyogyanya pendidikan karakter mulia yang terpadu
dan sistematis perlu diberikan saat anak-anak usia dini masuk dalam lingkungan
sekolah, baik di kelompok bermain (play group) maupun taman kanak-kanak
sampai jenjang SMP/MTs. Pada level ini, karakter guru sangat berperan dominan,
karena dalam filosofi Jawa, guru adalah orang yang harus “digugu lan ditiru”.
Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan karakter muia, karena guru adalah
perancang, pelaksana, model, dan penilai proses pembelajaran karakter mulia
yang berhadapan langsung dengan peserta didik secara regular dan sistematis.
Berdasarkan analisis teoretis maupun
kajian empiris seperti diuraikan di atas, tampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa
pendidikan karakter mulia yang kokoh saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak
untuk dilaksanakan pada system pendidikan dasar di negeri tercinta ini. Oleh
karena itulah, sejak lebih dari satu tahun ke belakang pemerintah, melalui
Kementerian Pendidikan Nasional terus berupaya menggulirkan wacana tentang
pentingnya penerapan pendidikan karakter bangsa di sekolah. Visualisasi
penerapan pendidikan karakter versi Kementerian Pendidikan Nasional dapat
dilihat dalam gambar berikut ini.
Tiga pilar pendidikan berbasis
karakter sebagai pijakan yang harus dijadikan landasan filosofinya. Ketiga
pilar itu memadukan potensi dasar anak yang selanjutnya bisa dikembangkan
secara terpadu dan seimbang. Pilar pertama, membangun watak, kepribadian atau
moral. Pilar kedua, mengembangkan kecerdasan majemuk. Pilar ketiga,
kebermaknaan pembelajaran. Ketiga pilar tersebut ditampilkan dalam “rumah
karakter” sebagai bangunan pendidikan berbasis karakter mulia yang meliputi
fondasi, tiang, dan atap. Agar ketiga pilar itu kokoh dan berjalan dengan baik,
maka perlu ada kontrol, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan. Pilar pertama
mengacu pada perilaku (akhlak) yang mulia, misalnya, yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Beliau menjadi model atau idola perilaku mulia anak didik, guru,
dan orangtua. Pilar kedua mengacu pada prinsip bahwa semua anak itu cerdas.
Setiap anak memiliki keunikan dan kecerdasan yang berbeda-beda (multiple
intelligence) seperti ditawarkan oleh Howard Gardner (1993).
Kecerdasan masing-masing itulah yang dikembangkan berdasarkan potensi dasar
yang dimiliki setiap anak. Ada anak yang cerdas musik, cerdas logika-matematik,
cerdas visual-spasial, cerdas kinestetik, cerdas linguistik, cerdas
interpersonal, cerdas intrapersonal, dan cerdas natural. Pilar ketiga mengacu
pada proses pembelajaran yang bermakna, yaitu yang memberikan nilai manfaat
untuk menyiapkan kemandirian anak.
Konsep pendidikan karakter banga terpadu yang digagas
Kemendiknas juga mensinergikan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Peran
orangtua di rumah adalah sama sebagaimana guru di sekolah dalam hal mendidik
anak. Kesalingpahaman dan kerjasama dalam mendidik anak menjadi syarat
terciptanya pendidikan berbasis karakter bangsayang mulia. Hal tersebut sangat
penting dilakukan, karena akan sangat merugikan, jika karakter bangsa yang
dibangun sekolah dengan kokoh diruntuhkan oleh orangtua, atau sebaliknya.
K.
REFORMULASI PENGELOLAAN
PENDIDIKAN DASAR UNTUK FASILITASI PENDIDIKAN KARAKTER MULIA YANG KOKOH
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan
intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter mulia pada lembaga
pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang
berkembang, yaitu makin meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat,
misalnya, makin merebaknya perkelahian massal, makin banyaknya kasus perilaku
sek bebas, dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan
generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan
kepribadian peserta didik melalui peningkatan kualitas pendidikan
karakter mulia terpadu.
Para pakar pendidikan di Indonesia umumnya sependapat
tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter mulia pada jalur
pendidikan formal. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat di antara para
pakar pendidikan tentang pendekatan dan strategi pendidikannya. Sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan
di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain
menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yaitu melalui penanaman
nilai-nilai sosial dan keagamaan bagi peserta didik secara terpadu sejak
pendidikan di rumah oleh orang tua.
Pendidikan karakter mulia adalah suatu sistem
pembentukan nilai-nilai karakter bangsa kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the
deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character
development”. Proses pendidikan karakter mulia di sekolah harus melibatkan
semua komponen pemangku kepentingan pendidikan, baik internal sekolah maupun
pihak eksternal sekolah. Pendidikan karakter mulia juga harus tergambar secara
terpadu dalam semua komponen pendidikan itu sendiri, seperti: isi kurikulum,
proses pembelajaran dan penilaian, pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah. Selain itu,
pendidikan karakter mulia di sekolah harus dimaknai sebagai gambaran perilaku
warga dan budaya sekolah dalam kesehariannya.
Pendidikan karakter mulia adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru dalam mempengaruhi karakter dan perilaku peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan dari perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan
materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya dalam
kehiupan sehari-hari. Sementara itu, Megawangi (2004:34) mengemukakan bahwa:
“Pendidikan karakter berupaya mengenalkan, mensosialisasikan, membiasakan nilai
kebaikan kepada seseorang sehingga menjadi bagian dari perilaku yang
terinternalisasi atau mendarah daging”.
Berbeda dengan pendidikan moral, pendidikan karakter
mulia memiliki esensi lebih tinggi karena bukan sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari menanamkan kebiasaan tentang hal
yang baik sehingga siswa menjadi faham (domain kognitif) tentang mana
yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik
dan mampu melakukannya (domain psikomotor). Aristoteles mengatakan bahwa
pendidikan karakter itu erat kaitannya dengan perilaku kebiasaan yang terus
menerus dipraktekkan dan dilakukan. Pendidikan karakter mulia mempunyai sasaran
kepribadian siswa, khususnya unsur karakter atau watak yang mengandung hati
nurani (conscience) sebagai kesadaran diri (consciousness) untuk
berbuat kebajikan (virtue).
Lickona, Schaps, dan Lewis (dalam Megawangi, 2004:149)
menjelaskan 11 prinsip proses pendidikan karakter yang harus dilaksanakan
oleh pendidik di sekolah yaitu:
(1)
Mensosialisasikan dan menngembangkan nilai-nilai etik yang dapat membentuk
karakter;
2) Menjabarkan karakter secara komprehensif atau
menyeluruh (mencakup pengetahuan, perasaan, dan perilaku kebaikan);
3) Menggunakan pendekatan utuh, proaktif, efektif bagi
perkembangan karakter dengan cara menjadikan guru sebagai teladan, disiplin
sekolah, kurikulum proses pembelajaran, manajemen kelas dan sekolah, integrasi materi
karakter dan seluruh aspek kehidupan kelas, dan kerjasama dengan orang tua dan
masyarakat;
4) Menciptakan suasana kasih sayang di sekolah dan
menjadikan sekolah sebagai model yang damai dan harmonis;
5) Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menjalankan perbuatan baik;
6) Menyediakan
kurikulum akademis yang bermakna dalam mendukung pengembangan karakter siswa
atau berbasis kompetensi;
7) Mendorong motivasi diri, kepemimpinan siswa serta
keterlibatan seluruh pengajar Melibatkan seluruh staf sekolah, keluarga dan
masyarakat sebagai mitra bestari;
9) Menjalankan kepemimpinan moral dari pimpinan
sekolah, dan guru serta pegawai di sekolah;
10) Melakukan kerjasama dengan orangtua murid dan
masyarakat sekitarnya;
11) Melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap
keberhasilan pendidikan karakter termasuk para guru dan siswa di sekolah.
Sebagai upaya untuk meningkatkan
kesesuaian dan mutu pendidikan karakter mulia pada jalur pendidikan formal,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand
design tersebut perlu menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pendidikan karakter mulia pada setiap
jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter mulia dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter mulia perlu
dilakukan secara multidispliner dan interdisipliner dalam praktek pembelajaran
di sekolah.
Menurut Undang Undang No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa
jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya. Untuk jenjang pendidikan dasar,
pendidikan informal dan non formal sesungguhnya memiliki fungsi dan kontribusi
yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan karakter mulia anak. Peserta
didik pendidikan dasar mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per
hari, atau kurang dari 30% dari waktu kehidupan anak dalam sehari. Selebihnya
(70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya
sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik, termasuk keberhasilan
pendidikan karakter mulia.
Selama ini, dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat belum optimal memberikan kontribusi bermakna dalam
mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter mulia peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta
didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karaktermulia yang terpadu, yaitu mengintegrasikan dan
mengoptimalkan kegiatan pendidikan karakter mulia dengan kehidupan anak
di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pendidikan karakter mulia di
sekolah harus diintegrasikan dalam proses pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai
pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, proses pembelajaran nilai-nilai
karakter mulia tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat. Dengan demikian, setiap guru di sekolah memiliki tugas dan
tanggung jawab kolaboratif dalam pelaksanaan pendidikan karakter mulia padai
setiap jenis dan jenjang satuan pendidikan dasar.
Kegiatan ekstra kurikuler yang
selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu program pembelajaran
yang potensial untuk pembinaan karakter mulia dan peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat masing-masing peserta didik. Melalui
kegiatan ekstra kurikuler, kegiatan pendidikan karakter mulia dapat
diintegrasikan secara praktis dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Pendidikan karakter mulia pada
satuan pendidikan dasar harus didukung dan dipadukan dengan pembentukan budaya
sekolah, yaitu perwujudan nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga
sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas,
karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter mulia pada dasarnya adalah seluruh warga
sekolah di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Semua warga sekolah,
meliputi para peserta didik, guru, staf administrasi, dan pimpinan sekolah
menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil
melaksanakan pendidikan karakter mulia dengan baik dapat dijadikan sebagai best
practices model, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke
sekolah-sekolah lainnya.
Pada tataran
satuan pendidikan, kriteria pencapaian pendidikan karakter mulia yang
kokoh adalah terbentuknya budaya sekolah yang berkarakter tertentu, yaitu
perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan
oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah yang berlandaskan
nilai-nilai tersebut. Karakter sekolah merupakan akumulasi dari pembentukan
karakter individu-individu yang dijadikan norma dan nilai kebersamaan seluruh
warga sekolah dan menjadi cirri khas perilaku warga sekolah dalam berbagai
bentuk kegiatan keseharian sekolah. Pembentukan budaya sekolah yang berkarakter
khas memerlukan sistem pengelolaan sekolah sesuai dengan karakter sekolah yang
dikehendaki bersama.
L. PENGEMBANGAN MORAL DAN KARAKTER
Dari
perspektif pandangan sistem, yang paling kompatibel dengan tindakan belajar dan
layanan belajar pendekatan untuk pendidikan karakter, kita perlu mendefinisikan
pengembangan karakter dalam tiga komponen pikiran : ( kognisi , mempengaruhi , kemauan ) dan komponen perilaku seperti yang digambarkan dalam model sistem perilaku manusia (Huitt, 1996). Komponen kognitif
karakter terdiri dari kedua dasar pengetahuan benar dan salah serta proses
rasional dan kreatif diperlukan untuk bekerja dengan basis pengetahuan untuk
membuat keputusan moral yang sehat. Ada sistem nilai terkait yang
mendefinisikan apa yang individu menjunjung tinggi atau yang dia terpasang. Ini
adalah kriteria yang siswa gunakan untuk membuat penilaian moral atau etis.
Siswa belajar untuk menghargai apa yang ada dalam basis pengetahuan mereka,
mereka juga akan lebih dalam diri apa yang mereka kritis dan kreatif berpikir tentang.
Kedua komponen mempengaruhi apa yang siswa bersedia untuk berkomitmen, apa yang
mereka bersedia untuk menetapkan tujuan, apa yang mereka bersedia untuk
merencanakan dan menempatkan energi terhadap mencapai. Sebagai siswa membuat
komitmen dan rencana, itu menambah basis pengetahuan mereka dan memperkuat
pemikiran mereka keterampilan dan nilai-nilai. Ketiga komponen kemudian
mempengaruhi komponen terakhir, perilaku terbuka. Perilaku ini memiliki dua
aspek: kebajikan pribadi seperti sebagai kebajikan berani dan disiplin diri dan
sosial seperti yang penuh kasih, sopan, dan dapat dipercaya. Sebagai siswa
merefleksikan perilaku mereka, itu menambah basis pengetahuan, memperkuat
keterampilan mereka berpikir, dan dampak nilai-nilai mereka. Tentu saja, perilaku
juga dapat secara langsung dipengaruhi melalui penerapan konsekuensi seperti
yang dijelaskan oleh teori pengkondisian operan (Huitt & Hummel, 1997a) dan
melalui pengamatan dan pemodelan seperti yang dijelaskan oleh teori pembelajaran sosial (Huitt & Hummel, 1997b).
Prinsip dasar dari model ini adalah bahwa banyak pengetahuan dan nilai-nilai
yang dipegang siswa implisit dan telah diperoleh meskipun observasi, pemodelan,
dan aplikasi konsekuensi. Sama pentingnya dengan itu adalah untuk mempengaruhi
perilaku moral yang nyata, adalah sama penting untuk membantu siswa membuat
pengetahuan eksplisit sendiri pangkalan, sistem nilai, dan proses melakukan dan
perencanaan sehingga membuat perilaku yang lebih disengaja. Ini tampilan
multi-faceted pembangunan karakter lebih mirip dengan (1989) Bandura teori kognisi sosial dengan penekanan pada determinisme timbal balik
daripada suatu perilaku , kognitif , atau humanistik melihat, masing-masing yang lebih mungkin untuk fokus
pada satu komponen untuk merugikan yang lain.

Dalam membantu siswa untuk
mengembangkan moral dan karakter, kita harus mengakui bahwa komponen ini ikut
bermain dalam konteks yang cepat berubah dan karena itu, kita tidak bisa
mengajar siswa kita semua pengetahuan khusus, nilai-nilai, atau perilaku yang akan
membawa kesuksesan dalam semua aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu kita
harus mengakui bahwa beberapa nilai relatif dan mengajar siswa untuk
mengembangkan pandangan mereka sendiri sesuai. Pada saat yang sama, kita harus
mengakui bahwa ada beberapa mutlak sehubungan dengan moralitas dan karakter
sebagai diterima oleh kesamaan di antara anggota masyarakat tertentu , agama besar dunia , dan filsuf moral . Karena itu, kami memiliki kewajiban untuk mengajar
ini di keluarga , di kami organisasi keagamaan , dan untuk mendukung
upaya ini dalam kami masyarakat . Perkembangan moral dan karakter adalah bagian
integral dari pengembangan diri (Ashton & Huitt, 1980), dan sebanyak
tanggung jawab pengasuh awal itu adalah pendidik kemudian. Nucci (1989)
menunjukkan bahwa "pemahaman moral anak itu adalah independen dari
konsep-konsep agama tertentu" dan bahwa anak-anak baik sekuler dan agama
fokus "pada set yang sama dari masalah interpersonal mendasar: yang
berkaitan dengan keadilan dan kasih sayang" (hal. 195). Singkatnya,
sebagai orang tua, pendidik, afiliasi dari organisasi keagamaan, dan anggota
masyarakat, kita memiliki kewajiban untuk menyediakan orang-orang muda dengan
pelatihan yang sesuai dengan tingkat usia mereka yang akan membantu mereka
dalam berpegang pada yang mutlak yang umum di filosofi dan tulisan suci dari
tradisi-tradisi keagamaan besar, sementara pada saat yang sama membantu mereka
mengklarifikasi dan membela nilai-nilai mereka sendiri diperoleh. Sebagai upaya
awal dalam mengidentifikasi atribut ini penting karakter moral yang dapat
ditangani oleh pendidik, saya telah mengembangkan " Survei Nilai-nilai yang diinginkan, kebajikan, dan Atribut ".
Sebuah studi pendahuluan menunjukkan tumpang tindih dalam keyakinan di kalangan
pendidik preservice dan berlatih ( Huitt, 2003 ).
Setiap kerangka kerja untuk
pembangunan berdampak moral dan karakter adalah sewenang-wenang kecuali
didasarkan pada beberapa landasan filosofis. Karena tidak ada pendekatan saat
ini untuk pendidikan moral konsisten dengan semua filsafat dan meta-teori
etika, pendidik harus terlebih dahulu memutuskan ini dan kemudian mengembangkan
kurikulum (Watkins, 1976). Sayangnya, serangkaian studi oleh Hartshorne dan
rekan (1928, 1929, 1930) menunjukkan bahwa teknik-teknik tertentu pelatihan
karakter, seperti di-diskusi kelas, atau bahkan berlatih kegiatan membantu,
melahirkan hubungan yang signifikan sedikit atau tidak ada pola kemudian murid
itu moral melakukan. Namun, tinjauan penelitian oleh Wynne (1989) melaporkan
bahwa kualitas hubungan antara fakultas (dan antara fakultas dan orang dewasa
dalam otoritas) adalah faktor utama dalam pengembangan karakter mahasiswa.
Suasana harmoni orang dewasa sangat penting. Menurut Wynne, sekolah efektif
membantu pengembangan karakter murid adalah:
- disutradarai oleh orang dewasa yang menjalankan
wewenang mereka terhadap fakultas dan mahasiswa di sebuah perusahaan,
sensitif, dan cara yang imajinatif, dan yang berkomitmen untuk kedua
akademisi dan pengembangan karakter murid;
- dikelola oleh fakultas yang berdedikasi membuat
tuntutan kuat pada siswa dan satu sama lain;
- terstruktur sehingga siswa dikelilingi oleh
berbagai kesempatan bagi mereka untuk berlatih membantu (prososial)
melakukan;
- berhasil memberikan siswa - baik secara individu
maupun kolektif - dengan berbagai bentuk pengakuan untuk melakukan yang
baik;
- berorientasi mempertahankan sistem simbol,
slogan, upacara, dan lagu-lagu yang meningkatkan identitas kolektif murid
';
- didedikasikan untuk mempertahankan disiplin
murid, melalui yang jelas, kode disiplin secara luas yang keras ditegakkan
dan didukung dengan konsekuensi penting;
- berkomitmen untuk instruksi akademik dan
ditugaskan PR murid signifikan dan sebaliknya menekankan kekakuan akademis
yang sesuai;
- peka terhadap kebutuhan untuk mengembangkan
loyalitas murid kolektif untuk kelas tertentu, klub, kelompok olahraga,
dan subentities lain di sekolah;
- bersimpati dengan nilai-nilai masyarakat dewasa
eksternal, dan menganggap itu sebagai sebagian besar mendukung dan peduli
dengan masalah anak muda;
- selalu mampu menggunakan uang lebih untuk
meningkatkan program mereka, tapi jarang menganggap kekurangan uang
sebagai alasan untuk kekurangan program serius;
- terbuka untuk mendaftar bantuan, nasihat, dan
dukungan orang tua dan orang dewasa eksternal lainnya, tetapi bersedia
untuk mengusulkan perubahan konstruktif yang penting dalam menghadapi
(kadang-kadang) kurang informasi resistensi induk;
- dibuang untuk mendefinisikan "karakter yang
baik" dalam hal yang relatif langsung dan tradisional.
M.
PROGRAM PENGEMBANGAN
KARAKTER
Tiga contoh
program pengembangan Proyek Pengembangan Anak. Child
Development Project (CDP) dirancang untuk membantu guru dan orang tua
meningkatkan "prososial" anak-anak perilaku dan sikap dengan program
yang dibentuk oleh tiga proposisi umum (Watson, M., Salomo, D., Battistich, V.,
Schaps, E. , & Salomo, J., 1989; Salomo, Schaps, Watson, & Battistich , 1992):
- orang dewasa berperan aktif dan penting dalam
membentuk pengembangan karakter anak-anak;
- Karakter berkembang dari dalam diri anak pada
dasar pemikiran anak dan pengalaman, dan
- diberi lingkungan keluarga yang memadai, anak
akan dibuang untuk peduli tentang orang lain serta diri mereka sendiri.
Intervensi dirancang untuk
mempengaruhi tiga sistem yang berbeda tetapi saling terkait - afektif,
kognitif, dan perilaku. CDP mengajarkan nilai-nilai prososial yang relevan
(khususnya keadilan, pertimbangan, menolong, dan tanggung jawab sosial) dan
mengajarkan keterampilan sosial yang diperlukan dan komitmen terhadap
nilai-nilai prososial. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa anak-anak perlu
belajar baik keterampilan khusus dan kebijaksanaan moral yang akumulasi dari
budaya kita dengan konvensi sosial yang sesuai.
Ada lima jenis pengalaman yang
dianggap penting bagi pengembangan orientasi prososial anak-anak:
- mendukung dewasa-anak - anak cenderung untuk
meniru orang dewasa dengan siapa memiliki hubungan positif;
- paparan nilai-nilai sosial - tidak hanya
kebiasaan sosial dan konvensi tetapi juga akumulasi kearifan moral
masyarakat dewasa; mengekspos anak-anak untuk model prososial dan
menjelaskan alasan-alasan tindakan moral;
- kesempatan untuk interaksi dengan rekan sebaya
dan tindakan prososial - anak membantu untuk mengembangkan kontrol diri,
meningkatkan pemahaman mereka moral dan sosial dan kepedulian terhadap
sesamanya;
- kesempatan untuk berpikir dan berdiskusi tentang
isu-isu moral - pekerjaan developmentalists struktural telah menunjukkan
bahwa anak-anak berusaha untuk mengembangkan sistem moral yang koheren,
dan bahwa ini dipupuk dengan menyediakan kesempatan untuk membahas dan
berpikir tentang situasi moral, seperti anak remaja pendekatan mereka
percaya pada otoritas orang dewasa melemahkan dan mereka berjuang untuk
kemerdekaan; pada tahap ini mereka akan perlu memiliki alasan untuk
tindakan moral yang mereka anggap sebagai milik mereka sendiri;
- pengalaman yang mempromosikan pemahaman tentang
orang lain - kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain telah
diusulkan oleh perkembangan kognitif-teoretikus sebagai bahan utama
tindakan prososial.
Para Program CDP telah ditunjuk sebagai salah satu Program Pendidikan
Itu Pekerjaan (Nasional Jaringan Difusi, 1995). Hasil dari program ini
menunjukkan bahwa siswa yang terdaftar lebih bermanfaat dan kooperatif dan
kasih sayang lebih sering ditampilkan, perhatian, dukungan, dan dorongan
terhadap satu sama lain. Mereka menunjukkan yang lebih baik kognitif sosial
keterampilan pemecahan masalah dan strategi dan pada umumnya lebih berkomitmen
untuk nilai-nilai demokrasi tertentu. Anak program yang lebih mungkin untuk
terlibat dalam tanggung jawab pernyataan (yaitu, posisinya sendiri satu negara
bahkan meskipun tampaknya tidak mungkin untuk menang.) Mereka lebih mungkin
untuk kepercayaan negara dalam kesetaraan representasi dan partisipasi,
kepercayaan bahwa semua anggota kelompok memiliki hak untuk berpartisipasi
dalam keputusan kelompok dan kegiatan. Singkatnya, guru dalam program CDP menyediakan
anak dengan instruksi tentang bagaimana untuk menjadi adil, peduli, dan
bertanggung jawab di dalam kelas. Mereka juga diberikan kesempatan untuk
berpikir dan berdiskusi tentang arti dan pentingnya nilai-nilai prososial
mendasar dan mempraktekkan nilai-nilai terutama di kelas tetapi juga di sekolah
pada umumnya, di rumah, dan di masyarakat adalah penting. Program CDP
menunjukkan bahwa kombinasi instruksi, praktek, dan refleksi adalah cara yang
ampuh bagi anak-anak untuk belajar.
Hyde
sekolah. Sekolah Hyde adalah sebuah sekolah tinggi swasta berasrama yang
mencoba untuk tidak hanya mengubah sekolah tetapi juga masyarakat seluruh
pengasuhan anak (Gauld, 1993). Ini memiliki sebagai tujuan untuk:
- memotivasi siswa untuk tujuan yang lebih besar
dalam hidup;
- memberdayakan orang tua sebagai guru utama, dan
- mengangkat guru untuk sebuah profesionalisme baru
di mana mereka membimbing proses tumbuh-up keseluruhan.
Program ini telah beroperasi selama
lebih dari 25 tahun dan dipandu oleh keyakinan mendasar bahwa setiap anak
berbakat dengan potensi unik untuk keunggulan yang mendefinisikan takdir nya
dan tujuan dalam hidup. Ini adalah program pendidikan yang membutuhkan baik
individu dan sekolah untuk berkonsentrasi pada pengembangan karakter -
khususnya, keberanian, integritas, kepedulian terhadap orang lain, rasa ingin
tahu, dan kepemimpinan.
Sekolah ini diorganisir sekitar
kurikulum yang komprehensif untuk pertumbuhan, menantang siswa di empat bidang
kehidupan: (a) intelektual, (b) fisik, (c) spiritual, dan (d) emosional. Siswa
diharapkan untuk memenuhi standar kelas dunia tidak hanya di bidang akademik
perguruan persiapan, tetapi juga dalam ko-kurikuler bidang seni pertunjukan,
atletik, kepemimpinan sekolah, dan pelayanan masyarakat. Mereka harus mengambil
kepemilikan untuk keberhasilan sekolah melalui pekerjaan rutin dan melalui
mengambil tanggung jawab untuk pertumbuhan siswa lain. Persyaratan yang
dilengkapi dengan beragam kegiatan seperti refleksi diri melalui journal dan
berbagi dengan orang lain. Tujuan tertinggi adalah bahwa siswa (dan guru dan
orang tua) menjadi siap berkomitmen untuk perbaikan terus-menerus menuju
keunggulan dalam semua usaha mereka: di sekolah, di rumah, dan di tempat kerja.
Hasil dari program ini menunjukkan bahwa:
- 100% dari senior lulus Sekolah Hyde telah
diterima untuk terakreditasi empat tahun perguruan tinggi sejak 1986;
- Antara 95 dan 100% dari orang tua biasanya
menghadiri Akhir Pekan Keluarga Hyde pada musim gugur dan musim semi;
- Kunjungan oleh media nasional (misalnya, NBC The
Today Show, CBS 60 menit, Phil Donahue Show) umumnya memberikan pujian
yang menonjol untuk program tersebut.
- Artikel di media cetak (misalnya, Dewan Sekolah
Nasional Berita, Washington Post, New York Times) telah membahas program
Hyde dan dicatat keberhasilannya.
Singkatnya, pendekatan Sekolah Hyde
didukung oleh berbagai perbaikan sekolah dan sosial ilmu sastra. Selain itu,
Hyde Sekolah telah mendirikan sejumlah tolok ukur oleh yang sukses dapat
diukur:
- 90% dari Hyde lulusan sekolah akan diterima
terakreditasi empat tahun perguruan tinggi atau akan berbaris pengalaman
selama setahun alternatif yang mereka dapat mengartikulasikan serangkaian
tujuan pembelajaran dan pertumbuhan;
- setiap siswa akan mampu, pada akhir tahun ajaran,
untuk menggambarkan tantangan intelektual, fisik, spiritual, dan emosional
yang program yang telah diberikan kepadanya;
- Rata-rata skor pada tes prestasi standar secara
signifikan akan melebihi negara-lebar rata-rata;
- setiap siswa akan mampu menulis sebuah esai
pendek yang menggambarkan kekuatan dan kelemahan dan rencana untuk
mengurangi efek dari kelemahan;
- 90% dari siswa, setelah dua tahun dalam program
ini, setelah diminta, akan dapat berbicara dengan penuh percaya diri
tentang orang tuanya 'perjuangan, dan akan mampu menjelaskan dengan
akurasi yang wajar atau yang orangtuanya visi untuk keluarga;
- setelah satu tahun dalam program ini, 90% dari
siswa Hyde akan mampu mengartikulasikan visi untuk dirinya sendiri dalam hal
yang terbaik nya;
- setelah satu tahun dalam program ini, setiap
siswa akan mampu menulis 3 - untuk 5-halaman esai mengartikulasikan
pentingnya prinsip-prinsip dalam kehidupan sendiri dan dalam kehidupan
masyarakat;
- 90% dari siswa akan memiliki skor lebih baik pada
ukuran mapan harga diri;
- pada akhir setiap tahun sekolah, setiap siswa
akan mengembangkan satu set tujuan pribadi tertulis untuk tahun ajaran
berikutnya, dalam hal pengetahuan, keterampilan, karakter, dan interaksi
keluarga, dan
- pada akhir tahun akademik, 90% guru dan 90% dari
orang tua akan memilih untuk terus berpartisipasi selama tahun ajaran
berikutnya.
Ini adalah serangkaian tujuan yang mengesankan akan
menjadi layak bagi sekolah lain untuk meniru.
Kota
Montessori School. Kota Montessori School (CMS), sebuah sekolah swasta
nirlaba di Luchnow, India, menyediakan pendidikan teladan untuk K-12 siswa
dengan berfokus pada kedua keunggulan akademik dan emosional dan spiritual
anak-anak kesejahteraan. Blok bangunan empat atau pilar (nilai-nilai universal,
keunggulan, pemahaman global, dan pelayanan) adalah prinsip panduan untuk
mendidik anak secara keseluruhan (Cottom, 1996). Difusi dari program ini sedang
dibantu oleh Dewan Pendidikan global .
Pengajaran nilai-nilai universal
yang dianjurkan oleh CMS dimulai dengan konsep bahwa seorang anak, sebagai
manusia, dikaruniai dengan kemampuan rohani. Hal ini diterjemahkan ke dalam
memberikan landasan spiritual bagi semua kegiatan anak, baik itu akademik,
fisik, atau sosial. Beberapa berfokus pada nilai-nilai di CMS kepercayaan,
kasih sayang, kerendahan hati, keberanian, kebaikan, dan kesabaran.
Keunggulan, keunggulan terutama
akademik, adalah fokus dari awal program pendidikan dalam program pra-sekolah.
Siswa mengatur perakitan harian di mana semua anak CMS mengambil janji sekolah
dan berkomitmen untuk mengembangkan pengetahuan yang lengkap dari semua mata
pelajaran mereka dan berusaha untuk mencapai keunggulan dalam segala hal.
Mizzer (1995) melaporkan bahwa fokus ini menghasilkan 99% dari siswa CMS
menempatkan di divisi pertama dari negara dan ujian nasional. Selain itu, siswa
CMS telah menerima jumlah tertinggi berdasarkan jasa beasiswa di India. Kinerja
yang patut dicontoh oleh mahasiswa, baik secara individu maupun dalam kelompok,
juga telah dicatat. Satu siswa dianugerahi 3 medali dalam robotika di sebuah
pameran sains di Kanada; seorang mahasiswa kedua memenangkan penghargaan untuk
proyek robot di sebuah kompetisi di Skotlandia. Dalam setiap kompetisi ini,
siswa dari CMS adalah satu-satunya mahasiswa Asia di luar Jepang yang telah
memasuki acara tersebut. Musisi Mahasiswa juga mengambil hadiah tertinggi dalam
kompetisi musik seluruh India.
Pemahaman global, bersamaan dengan
konvergensi pada mencapai perdamaian dunia, berfokus pada membantu siswa
mengembangkan kesadaran tentang saling ketergantungan antara semua hal dan
kemauan untuk menerima tanggung jawab atas nasib planet ini dan untuk
kesejahteraan seluruh umat manusia. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan
bagaimana masalah pribadi, lokal, dan regional terhubung ke tantangan yang
dihadapi seluruh dunia. Konsultasi dan pengambilan keputusan kolektif adalah
proses yang integral pada aspek kurikulum.
Pemahaman ini dilakukan dalam
tindakan melalui pilar keempat: layanan. Siswa didorong untuk menempatkan
pengetahuan mereka, nilai, dan pelatihan dalam praktek dengan terlibat dalam
proyek pelayanan. Setiap siswa harus melakukan sejumlah sekolah dan layanan
masyarakat seperti les buta huruf atau membantu kaum miskin pedesaan. Siswa
diajarkan bahwa kerja memiliki martabat dalam dan dari dirinya sendiri dan itu
dan bahwa pekerjaan tidak ada orang di bawah ketika hal itu dilakukan dalam
sikap melayani orang lain.
Dengan Dewan Pendidikan Global
mendirikan kantor di lima negara selain ke India (Brasil, Republik Ceko,
Italia, Afrika Selatan, dan AS) untuk membantu dalam program menyebarkan itu,
progam CMS dapat diharapkan untuk memainkan peran utama dalam menciptakan fokus
pada pendidikan karakter sebagai sebuah aspek penting dari pendidikan di abad
kedua puluh satu.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketika ketiga hal
tersebut dapat berjalan beriringan, maka akan terbentuk karakter seseorang yang
bisa baik atau buruk.
2. Teori
pengembangan karakter dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1)
fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu
pertama, pembiasaan. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah
melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan
tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan
yang luhur.
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan
dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good
(mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring
the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai
kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan).
3. Metode
penerapan pendidikan karakter menurut Islam antara lain: metode tilâwah, metode
ta’lîm’, metode tarbiyah, metode ta’dîb, metode tazkiyah
dan metode tadlrîb. Penerapan pendidikan karakter dapat dilaksanakan di
keluarga, di sekolah, di masyarakat, bahkan negara dengan tujuan yang sama,
yaitu membentuk karakter seseorang sebagai bekal di kehidupan masa depan.
Namun, dimanapun pendidikan karakter itu diterapkan, penerapan di keluargalah
yang paling penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter seseorang.
Penanaman nilai-nilai seperti nilai agama, nilai sosial, akan lebih menancap di
sanubari seseorang ketika masih berada di lingkungan keluarga. Karena karakter
seseorang akan lebih mudah dibentuk ketika masih dalam usia anak-anak.
4. Pada bagian
akhir dari pembahasan saya sistem, metode, program dan pengelolaan pendidikan
dasar untuk fasilitasi pendidikan karakter bangsa yang kokoh bagi generasi masa
depan ini, maka aspek-aspek penting yang perlu direvitalisasi dalam sistem
pengelolaan pendidikan dasar kita adalah:
1.
Perlu reformasi pemahaman tentang fungsi pokok dan
esensial lembaga pendidikan dasar (dalam hal ini SD/SMP, dan MI/MTs) dari para
pengambil kebijakan bidang pendidikan dasar pada berbagai level, para pendidik
dan tenaga kependidikan, para orang tua dan masyarakat. Selama ini, pendidikan
dasar lebih diposisikan sebagai lembaga pendidikan pra akademik para peserta
didik anak usia 6-15 tahun, sehingga kriteria keberhasilannya lebih difokuskan
kepada prestasi akademik para peserta didik. Dalam konteks fasilitasi
pendidikan pendidikan karakter bangsa, maka lembaga pendidikan dasar harus diposisikan
sebagai lembaga peletak dasar dan fondasi yang kokoh pendidikan karakter bangsa
berbasis nilai-nilai dan norma Pancasila. Selain itu, lembaga pendidikan dasar
harus diposisikan sebagai lembaga pemetaan dan pengembangan potensi peserta
didik untuk dkembangkan secar terarah dan teratur agar setiap anak sukses dan
bahagia dalam proses pendidikannya.
2.
Program belajar (kurikulum) lembaga pendidikan dasar
perlu disusun secara terpadu sesuai dengan karakteristik perkembangan
psikologis, intelektual, moral, dan fisik peserta didik yang mendukung
pengembangan karakter bangsa secara multidisipliner maupun interdispliner.
Substansi mata ajar bidang-bidang pembelajarannya diintegrasikan dengan
substansi pendidikan karakter bangsa yang berbasis nilai dan norma Pancasila
maupun budaya daerah yang disepakati. Muatan kurikulum pendidikan dasar lebih
difokuskan kepada pengembangan pribadi dan potensi peserta didik untuk
diarahkanm menjadi “peserta didik yang kreatif dan senang belajar dengan
dilandasi oleh karakter pribadi dan perilaku yang kokoh berdasarkan norma dan
nilai Pancasila”.
3.
Pendekatan proses pembelajaran pada lembaga pendidikan
dasar harus diarahkan kepada “pembiasaan dan modeling” dari perilaku-perilaku
yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik. Tugas dan fungsi pokok guru bukan
sebagai instruktur mata pelajaran, tetapi lebih difokuskan sebagai “role model
dan pendamping proses belajar anak” dalam berbagai jenis kegiatan pembelajaran
peserta didik.
4.
Sistem penilaian keberhasilan belajar peserta didik
lembaga pendidikan dasar harus lebih difokuskan kepada penilaian sikap dan
perilaku yang terkait dengan indikator-indikator karakter bangsa yang
diharapkan dimiliki dan dilaksanakan oleh peserta didik dalam kehidupan
kesehariannya, baik di lingkungan satuan pendidikan maupun di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Penilaian terhadap prestasi akademik hanya dijadikan
penunjang atau pelengkap terhadap penilaian sikap dan perilaku peserta didik.
5.
Model pengelolaan sekolah untuk fasilitasi pendidikan
karakter bangsa yang kokoh perlu melibatkan masyarakat secara utuh dan
terintegrasi secara sistematis, yang dikenal dengan istilah Community-School-Based
Management (CSBM). Dalam model pengelolaan sekolah ini, masyarakat dan
orang tua dilibatkan secara aktif melalaui berbagai cara dan strategi dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi keberhasilan proses dan hasil
pendidikan anak sesuai dengan posisi masing-masing pihak. Tugas dan tanggung
jawab proses pendidikan anak didistribusikan secara proporsional kepada seluruh
pihak yang terkait dengan pendidikan anak di sekolah maupun di luar sekolah.
Aplikasi model CSBM ini merupakan realisasi dari filosofi bangsa kita bahwa
pendidikan anak merupakan tanggung jawab bersama pemerinah, sekolah, dan
masyarakat.
B.
SARAN
Pendidikan karakter merupakan
sesuatu yang sangat penting dan harus dipahami serta dipraktekkan secara
menyeluruh. Pembentukan karakter yang pada umumnya terjadi pada masa anak-anak,
mendorong para orangtua untuk bersikap serius dalam masalah ini. Orangtua harus
memberikan pendidikan yang baik dalam rangka membentuk karakter anak. Sehingga
diharapkan lahir generasi penerus bangsa yang memiliki karakter kuat dalam
rangka memajukan bangsa dan negara.
Hal yang sama juga harus dilakukan
para pendidik baik di sekolah (guru), di Perguruan Tinggi, atau dimanapun
berada, yang merupakan orangtua kedua bagi anak. Budaya yang baik di lingkungan
tempat belajar harus dibangun dan diaplikasikan oleh semua pihak, agar tercipta
manusia-manusia yang berkarakter di masa mendatang.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar